Kamis, 02 Juni 2011

Love for Mother Earth

Sudah seminggu ini SMA Perwira
Nasional mengadakan aksi hijau
di lingkungan sekolah. Banyak
juga yang mendukung, namun
yang tampak cuek dan ogah-
ogahan juga tidak kalah
jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah
pendapat yang keluar dari mulut
Wira, ia termasuk ke kelompok
yang terkesan tidak peduli
dengan aksi go green di
sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai,
Litha memilih berkeliling
mengingatkan teman-temannya
untuk membuang bungkus
makanan mereka ke tempat
sampah yang sudah disediakan.
Ia bahkan menjelaskan untuk
membuang sampah ke tong
sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah
kripik kentangnya ketika melihat
Litha sibuk wira-wiri
mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia? Sok peduli
banget!" cibir Wira di hadapan
teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang
ngusulin aksi hijau di sekolah
kita," sahut Nando, teman Wira
yang juga apatis akan aksi cinta
bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil
memandang sosok di
seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir.
Aneh ya? Padahal Litha cantik
banget, kan?" sahut Nando, yang
kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya
Wira kesal. Ia merasa tersindir,
karena sudah hampir lulus SMA
masih belum juga mendapatkan
seseorang yang spesial di
hatinya. Seseorang yang nggak
cuma cantik fisiknya tapi juga
cantik hatinya. Padahal dia
sudah dikenal sebagai cowok
yang paling banyak fansnya,
sayangnya dari fans yang
berjibun itu dia belum juga
menemukan yang dicarinya.
Cewek-cewek yang
mengejarnya kebanyakan hanya
tertarik dengan harta dan
tampilan fisiknya saja. Ia ingin
seseorang yang tidak melihat itu
semua dari dirinya, ia ingin
seseorang yang bisa
membuatnya lebih baik.
Wira nggak pernah
mengutarakan kriteria cewek
idamannya ini ke siapapun,
termasuk Nando sahabatnya
sejak kelas satu. Somehow, ia
merasa sulit mendapatkan
cewek dengan kriteria itu
dengan reputasinya sekarang—
tukang bikin onar, sering skip
pelajaran, hobi nongkrong di
kantin, dan selalu skeptis
terhadap semua kegiatan
sekolah. Sehingga ia
memutuskan untuk menyimpan
impiannya itu rapat-rapat, entah
kapan harus dibuka. Mungkin
bila sudah menemukan yang
tepat.
Tanpa terasa bel masuk
berbunyi. Wira dan teman-
temannya memutuskan untuk
kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak
Rahmat nih. Gue nggak mau
kena skorsing lagi," ajak Wira
pada Nando sambil
meninggalkan bungkusan bekas
kripik kentang dan kaleng Cola-
nya di atas meja kantin.
Ketika berbalik, ada yang
menepuk bahunya dari
belakang. Refleks ia berbalik
kembali dan menemukan sosok
yang membuat mood-nya nggak
enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan
minum, bungkus plastik sama
kalengnya tolong dibuang ke
tong sampah ya," ujar Litha
ramah sembari menyodorkan
bungkus kripik kentang dan
kaleng Cola yang tadi
ditinggalkan begitu saja oleh
Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira
mengambil bungkus plastik dan
kaleng di tangan Litha dengan
kasar lalu membuangnya ke
tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil
menatap Litha penuh amarah.
Berikutnya ia pergi menyusul
teman-teman segengnya yang
sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya
tidak mengerti. She's wondering,
apa yang sudah diperbuatnya
sampai membuat Wira
sedemikian marah kepadanya.
Seingatnya, Wira memang
terkenal sebagai tukang
pembuat onar meski anehnya
teman-teman ceweknya banyak
yang ngefans gara-gara
tampang Wira yang good
looking. Namun, dia dan Wira
tidak pernah bermasalah
sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak
ke sisi lain bumi, membuat
pemandangan menjadi bersemu
jingga dan meninggalkan kesan
hangat. Usai main squash
bersama ayahnya, Wira yang
sedang menikmati segarnya jus
jeruk dingin dari kulkas
menyambar majalah Bunda yang
tergeletak di ruang tengah,
majalah yang memuat tentang
pola hidup sehat, penyakit
populer, info-info kesehatan
sampai kondisi bumi saat ini.
Entah kenapa Wira tertarik
untuk membaca sebuah artikel
mengenai Global Warming. Judul
artikel itu "Bumi sedang Koma",
Wira penasaran mengenai isinya.
Menurutnya, mana ada benda
mati yang bisa mengalami koma.
Jadi ia memutuskan untuk
mencari tahu sendiri apa yang
dimaksud penulis dengan
mencantumkan judul yang tidak
rasional menurutnya itu.
***
Sementara itu, sore-sore begini
sudah menjadi hobi Litha untuk
menyirami tanaman-tanaman
kesayangannya di belakang
rumahnya. Kebetulan ibunya
juga hobi merawat tanaman,
terutama bunga Anggrek.
Sehingga terkadang Litha pun
berkebun berdua bersama
ibunya, seperti sore hari ini.
Sambil menyirami pot-pot
euphorbia, Litha bercerita
tentang kejadian di sekolah hari
ini. Mengenai temannya yang
diperingatkan untuk membuang
sampah malah marah-marah dan
membuatnya sedikit ketakutan
karena tatapan matanya yang
tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah
membuat temen kamu itu marah
sebelumnya?" tanya Ibu sambil
menyemprot air ke koleksi
Anggreknya yang digantung-
gantung di bawah net khusus
green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha
menghindari konflik dari dia. Dia
itu terkenal bad boy di sekolah,
Ibu kan tahu aku paling benci
bikin masalah. Sebisa mungkin
aku menghidari masalah," terang
Litha.
"Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu
tentang program go green itu,
apa semua setuju? Kamu yakin
tidak ada yang merasa kontra
dengan usul kamu itu, Lit?
Biasanya, setelah sebuah
pendapat muncul, pro dan
kontra pasti akan mengikuti
berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan,
selama ini ia mengira usulnya
untuk mencanangkan program
go green di sekolah bakal mulus-
mulus saja. Apalagi ia mendapat
persetujuan langsung dari
Kepala Sekolah, tanpa
mengajukan proposal lewat OSIS
terlebih dahulu. Ia menganggap,
ini kan program untuk kebaikan,
bukan program hura-hura yang
cuma menghabiskan duit, pasti
banyak yang mendukungnya.
Ibu seolah baru saja
menunjukkan bahwa beberapa
pihak, sekecil apapun jumlahnya,
pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek
sama kegiatan sekolah," gumam
Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira? Cowok ya, Lit?"
tanya Ibu dengan raut excited.
Litha mengangguk menjawab
pertanyaan ibu.
"Mungkin dia naksir kamu, Lit.
Cowok kan suka usil kalo lagi
naksir cewek," goda Ibu yang
langsung membuat pipi Litha
bersemu kemerahan.
***
Esoknya di sekolah, Sang Ketua
OSIS, Fahri, tengah sibuk menata
pot tanaman yang kini
menghiasi teras depan ruang
OSIS. Litha yang sedang melintas
pun tertarik untuk menikmati
pemandangan baru di
sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi
segar nih!" ujar Litha sambil
membantu memindahkan pot-
pot kecil berisi bunga.
"Iya, saya juga meletakkannya
hampir di teras semua ruangan.
Masih baru sebagian sih, sisanya
datang nanti siang. Kamu mau
membantu?" Fahri membetulkan
letak kacamatanya yang agak
melorot usai membungkuk
menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha
bersemangat. Ini kesempatan
bisa memandang sang Ketua
OSIS dari dekat, diam-diam dia
naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang,
melintas di depan ruang OSIS, di
mana Fahri dan Litha sibuk
membawa pot-pot tanaman ke
depan ruang guru yang ada di
sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira
menyenggol bahu Litha sampai
pot bunga yang ada di
tangannya terjatuh dan pecah.
"Oops... sori." Spontan Wira
minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang
berdiri di sebelahnya, raut
wajahnya langsung berubah
menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih?
Saya tau kamu nggak
mendukung aksi go green di
sekolah ini, tapi nggak perlu
bikin kacau dong!" semprot
Litha.
Wira bingung harus menjawab
apa, karena ia benar-benar tidak
sengaja melakukannya. "Gue
nggak sengaja tau! Lo jangan
asal tuduh ya!" seru Wira
akhirnya dan menghambur pergi
meninggalkan Litha yang masih
kesal akan perbuatannya
barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak
bantuin pula!" Litha ngomel-
ngomel sambil membersihkan
pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,."
kata Fahri sembari membantu
Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha
dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini
dananya dari kamu pribadi ya?"
tanya Litha ketika pot yang
pecah selesai dibersihkan. Fahri
agak terkejut mendengar
pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?"
tanya Fahri tanpa menatap
lawan bicaranya. Ia pura-pura
merapikan pot di samping
kakinya.
"Ya... dari anak-anak. Tapi emang
bener ya?" Litha menatap Fahri
intense.
Fahri tidak langsung menjawab,
ia memutuskan untuk
meletakkan pot terakhirnya
dulu. "Cuma sedikit rasa terima
kasih kepada bumi kok, Lit.
Nggak ada apa-apanya
dibandingkan kamu yang udah
berani mempelopori aksi go
green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji
begitu. Dalam hati ia membatin,
Fahri nggak cuma cakep, pintar
dan populer, ia juga berhati
emas. Kalo dibandingin sama
Wira sih, bagaikan bumi dan
langit. Yah meskipun sama-sama
cakep dan populer, tapi Fahri
jelas punya nilai plus.
***
Hari ini akan diadakan Green
Day, dimana semua warga
sekolah diwajibkan untuk ikut
kerja bakti membersihkan
sekolah dan menanam beberapa
pohon di halaman sekolah yang
sebelumnya gersang.
Litha tampak lebih bersemangat
hari ini, mata bulatnya berbinar-
binar indah, memancarkan
kecantikannya. Ia tampak sibuk
menanam tanaman hias di pot
besar di teras depan kelasnya
bersama beberapa teman
sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang
memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri
dari posisi jongkoknya. Ketika
melihat sosok yang berdiri di
depannya, her face's turning
into a frown. Ia mengira yang
memanggilnya tadi adalah Fahri.
Namun nyatanya yang ada di
hadapannya saat ini adalah
orang yang paling tidak ingin ia
temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-
pot tanaman buat menghias
sekolah kayak Fahri," ujar Wira
dengan raut serius.
Litha yang tadinya pengen
langsung nyemprot, berpikir dua
kali untuk benar-benar
melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit.
Maafin gue ya?" Wira
menyodorkan sebuah pot bunga
kepada Litha. "Ini sebagai ganti
pot yang udah gue pecahin
kemarin."
Litha menerima pot bunga itu
ragu, ia masih tidak percaya
Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil
tersenyum, menimbulkan gejolak
aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini
buat bumi. Kamu cinta bumi
kan?" tanya Litha di luar dugaan.
Wira sempat nggak ngeh
dengan maksud perkataan Litha,
namun kemudian ia tersenyum
penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira
akhirnya, di mana ada elo di
dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan
Wira untuk mengikutinya
mengambil pot-pot berukuran
agak besar di suatu sudut di
depan kelasnya. Ia minta Wira
membantunya mengangkat pot-
pot itu bersamanya, karena ia
tak kuat mengangkatnya
sendirian. Wira pun
menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah
saatnya membuka kembali
impiannya yang sudah ia
pendam rapat-rapat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar